Rabu, April 08, 2009

SEJARAH KOTA GEDAH

Ki Dermakanda yang mewakili Mas Ngabei Purbawijaya kembali bertanya kepada Pak Sondong yang masih kerasukan Buta Locaya,"Saya ini orang Kadiri asli dan masih keturunan Pangeran Ketawengan, tetapi saya tak mengetahui benar mengenai letak patilasan-patilasan". Saya bertanya kepada orang-orang tua, di mana bekas tempal tinggal Pangeran Gunung Sari, tetapi tidak ada yang sejelas keterangan Ki Buto Locaya (Orang jujur dianggap buta dan bodoh oleh bangsa arab). Pak Sondong (Buta Locaya) langsung memotong kalimat Mas Ngabei Purba Widjaja,"Kecuali itu, di Kadiri ini orang Jawanya belum begitu banyak. Jelasnya sebab pada jaman dulu para wali saya hadang dan tidak saya perkenankan masuk ke Kadiri. Wali itu (Bonang) saya hadang di Desa Singkal, Lalu saya suruh kembali pulang ke asalnya, sebab para wali itu tidak baik kelakuannya, suka membujuk, suka mencela, suka mengganggu agar orang mau memeluk agamanya dan suka menyiksa. (Terbukti sekarang yang di lakukan oleh oknum / kelompok islam yang masih sampai detik ini kenyataannya suka mencela, mengganggu dan lain sebagainya). Karena itu setelah saya tahu bahwa Sunan Bonang akan masuk Kadiri, semua tingkah lakunya saya amati baik-baik. bagaimana cara dia akan mempengaruhi orang-orang Kadiri agar memeluk agama islam. Setelah sampai di Kertosono (sekarang masuk menjadi wilayah Kabupaten Nganjuk), wali itu memperlihatkan kesaktiannya (kesombongannya). Sungai Berantas yang melalui sebelah barat kota Kertosono di ubah pindah ke sebelah timur kota Kertosono, seketika itu juga sungai berantas pindah ke sebelah timur kota itu. Tempat itu di sebut Kota Gedah. Orang-orang di tempat itu di kutuk, yang laki-laki tidak akan kawin sebelum menjadi bujang lapuk, sedang anak gadis di kutuk tak akan bersuami bila tidak menjadi perawan tua. Dan tanah itu di kutuk kekurangan air biar jadi padang pasir seperti di arab. Setelah saya mengetahui perbuatan Sunan Bonang, saya berfikir bahwa dia suka menyusahkan orang lain atau orang banyak, sebab sawah dan ladang yang di lalui sungai yang baru pindah akan rusak. Orang-orang desa pasti susah, lebih-lebih para petani. Karenanya saya mengumpulkan teman-teman termasuk dari mahkluk halus (sebutannya). Mereka saya ajak menghadang perjalanan Sunan Bonang di Desa Singkal. Saya berusaha mencegah Dia agar tidak masuk ke daerah Kadiri. Saya Pura-pura menjadi manusia (karena di anggap bukan manusia oleh wali itu red) dan bernama Kiyayi Combre, semua mahhkluk halus saya suruh bersiap-siaga di lapangan tepi sungai Berantas di sebelah selatan desa Singkal. Tak lama kemudian Dia datang dari sebelah utara bersama tiga santrinya (atau temannya saya tidak tahu). Kemudian saya dekati mereka, saya bertanya kepada mereka, mereka mengaku dari Tuban dan bernama dengan sebutan Sunan Bonang. Sebaliknya saya juga di tanya. Dan saya mengaku bernama Kiyayi Combre, tetapi dia tidak dapat di kelabui lalu bersabda, "Sebenarnya Engkau bukan manusia tetapi mahkluk halus, namamu sebenarnya Ki Buta Locaya, datu kota Kadiri". Sunan Bonang melanjut sabdanya, "E...e...ee....Buta Locaya jika aku tak engkau perkenankan masuk ke kota Kadiri, aku akan menyeberang sungai ke sebelah timur sungai berantas ini. Anak cucumu kaum mahkluk halus yang berjumlah ribuan, jangan sampai menghalangi perjalananku. Ber tahu mereka. Setelah Sunan Bonang bersabda demikian, rasa badanku menjadi lemah, tak berdaya, lelah, lesu, kepala pening, badanku menjadi lemas tak berdaya, seolah-olahtiada bertulang dan berurat dn tak bertenaga. Lalu dia bersabda lagi. "Eee Buta Locaya, kecuali engkau melarang aku masuk ke Kadiri, Tuhan Allah masih belum memberikan ijin atau belum mengijinkan aku meneruskan jaran Rasul di Tanah Kadiri, sekarang tunjukkan kepadaku di mana letak kota Mamenang, sebab aku ingin tahu bekas keraton Prabu Aji Jayabaya". Saya menjawab kepada Bonang," Bekas Kerajaan Mamenang terletak di sebelah timur. Tempat itu di sana. Dia berkata lagi," Aku hanya berpesan kepadamu, desa yang terletak di sebelah selatan Singkal berilah nama Desa Combre, tujuannya untuk mengenang pertemuanku dengan engkau di tempat itu, tempat yang terletak di sebelah selatan itu berilah nama Desa Kawanguran sebab saya di ketahui oleh mahkluk-mahkluk halus ketika datng kemari". Saya bertanya lagi pada Bonang, "Apa sebabnya andika mengutuk orang-orang desa Singkal yang laki-laki tak akan kawin sebelu menjadi bujang lapuk atu perjaka tua. Yang wanita tidak akan dapat jodoh bila belum menjadi perawan tua ?". Dan lagi mengapa sungai Brantas Andika pindah ke sebelah timur ?. Dan nama desa itu Kau ganti namanya menjadi Gedah, dan sabdakan kekurangan air di tempat itu ?". Sunan Bonang berkata lagi, "Ki Buta Locaya, ketahuilah, mengapa saya kutuk daerah ini menjadi kering, karena pada suatu hari ketika saya merasa haus, saya kemudian masuk ke desa dengan maksud minta air minum. Kebetulan waktu itu ada seorang anak gadis keluar dari dalam rumah. Aku lalu minta air. "Genduk, aku minta air yang di peram sedikit saja untuk di minum". Jawaban anak gadis itu begini, "Minta air yang di peram ?. Adakah air yang di peram kecuali air seni". Setelah aku mendengar jawabannya yng demikian, aku berpendapat bahwagadis itu lancang mulut dan tidak bersopan santun kepada orang tua ( bukti bahwa sunan atau wali tersebut tidak di kehendaki ) . Itulah sebabnya aku mengutuk mereka. Padahal maksudku air yng di imbu atau di peram ialah air yang sudah lama di biarkan dan mengendap, tentunya airnya menjadi bersih dan sejuk segar. Air yang demikian pasti menghilangkan rasa haus walaupun minum hanya sedikit. Ketika aku mendengar jawabannya yang begitu itu aku marah sekali dan jadi minum (gengsi). Aku hendak minum air bengawan, airnya keruh. Aku lalu berkata, "Desa ini memang kurang air atau kering. Seketika itu sungai atau bengawan itu pindah dari barat ke timur". Adaun sebabnya kota ini aku ganti namanya dengan kota Gedah ialah ketika aku bertanya kepada penduduk di sini "kota ini bernama apa" Jawab mereka orang yang tinggal di sebelah timur bengawn beragama mutihan begitu kata populernya orang yang memeluk agama islam yang datang dari arab padang pasir, sedangkan orang yang di sebelah barat sungai beragama irengan atau hitam sebutan untuk orang yang masih melaksanakan ajaran Budo. Karena itu pula kota yang ada di sebelah barat sungai aku beri nama kota Gedah yang artinya mereka masih lebih terang bila ber agama Budha ( walaupun agama budha di sebut agama irengan atau hitan tetapi kenyataannya mereka masih menganggap lebih jelas atau terang, baik menyembah kekuasaan, kekuatan yang di atas kekuasaan atau kekuatan manusia). Artinya se-Gedah ialah hitam muda (abu-abu) maksudnya walaupun hitam masih terang (putih). Dari kata se-Gedah lama-lama menjadi Gedah. (Hal ini menjadi sejarah desanya ada, orang-orangnya ada dan kekurangan air, kasunyatan silahkan di cek sendiri ke desa yang di sebut. Itulah salah satu kelakuan orang yang katanya suci / wali / utusan kerjaannya hanya merusak dan terbukti sekarang banyak mengaku tokoh-tokoh islam tapi kenyataannya hanya jadi provokator untuk merusak tatanan negeri Nusantara). Di kutip dari penerbit Bhokhl Mpu Tan Khoen Swie.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds